Apakah kita memerlukan Negara untuk bertahan hidup ? (STATELESS SOCIETY) ELON MUSK
Siapa yang tak kenal Elon Musk. Sosok yang kini jadi orang terkaya nomor 1 di dunia ini adalah idola.
Kesuksesannya adalah impian banyak orang. Bukan hanya karena industri mobil listrik di bawah payung Tesla yang ia bangun, atau soal penjelajahan ruang angkasa di bawah panji SpaceX yang ia motori.
Ini soal power of one man. Satu kalimat cuitannya di Twitter bikin gonjang-ganjing harga bitcoin. Satu pernyataannya tentang agama dan ilmu pengetahuan bikin perdebatan panjang di segala penjuru. Yang terbaru, Musk mencuri perhatian soal narasi membayar pajak. Ia menyebut para billionaire seharusnya tidak membayar pajak
karena pemerintah sebagai entitas yang mengumpulkan dan mengelola pajak, punya kemampuan yang buruk dalam hal capital allocation atau alokasi anggaran. Dan tidak masuk akal untuk mengambil pekerjaan alokasi modal dari orang-orang yang telah menunjukkan keterampilan yang besar dalam alokasi modal dan memberikannya kepada entitas yang punya keterampilan yang sangat buruk dalam alokasi modal, yaitu pemerintah.
Argumentasi Musk ini beralasan kalau melihat bagaimana pemerintahan di banyak negara di dunia kerap dikritik akibat kebijakan anggaran yang banyak kali tidak tepat sasaran.. Tidak sedikit pula anggaran yang berasal dari pajak warga negara itu dikorupsi.. I mean tengoklah kasus dana bantuan sosial alias bansos Covid-19 di Indonesia yang dikorupsi oleh orang-orang tak terpuji.
Inilah yang kemudian membuat muncul narasi pertanyaan soal posisi negara atau pemerintah itu sendiri. Apakah bisa negara dieliminasi dari sistem bermasyarakat kita?
Mungkinkah sebuah sistem masyarakat tanpa negara bisa terwujud?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian makin punya pertalian dengan kebijakan yang kini tengah dilakukan oleh Menteri Keuangan Indonesia, Ibu Sri Mulyani, lewat program tax amnesty jilid 2. Inilah Risalah Pajak dan Masyarakat Tanpa Negara! Jika kita kembali ke sudut pandang Elon Musk, sebetulnya wajar saja jika banyak yang menganggap pemerintah sebagai “masalah” dan tak punya keterampilan mengalokasikan anggaran.
Dalam kacamata kaum libertarian, kebabasan sipil dan kapitalisme menjadi hal yang utama. Dengan demikian, intervensi pemerintah dan segala kontrol yang timbul akibat relasi masyarakat dengan pemerintah/negara sebisa mungkin disingkirkan.
Namun, perlu menjadi catatan pula, bahwa Elon Musk berdiri di belakang kewajibannya sebagai warga negara. Total pajak yang harus ia bayarkan di tahun 2021 mencapai US$ 11 miliar atau sekitar Rp 157,5 triliun. Yess, Rp 157,5 triliun.
Dengan demikian, sangat mungkin argumentasinya tentang ketidakmampuan negara dalam membuat kebijakan alokasi anggaran juga berangkat dari keengganannya membayar pajak dengan jumlah yang demikian besar.
Nah, balik lagi, jika menggunakan logika soal kemampuan alokasi dana yang kurang dimiliki pemerintah, pertanyaannya adalah apakah keberadaan pemerintah atau bahkan negara secara keseluruhan dengan demikian bisa “disingkirkan”?
Well, jika menggunakan kajian yang dibuat dalam bidang arkeologi dan antropologi kultural, konsep masyarakat tanpa negara atau stateless society memang pernah berkembang sebagai model komunitas masyarakat dalam sejarah. Banyak ahli yang menyebut negara atau state dengan segala kompleksitas yang ada di dalamnya baru lahir sekitar 6000 tahun lalu. Sementara, homo sapiens yang adalah manusia saat ini telah ada sejak 200 ribu tahun lalu.
Adapun komunitas manusia sendiri telah terbentuk setidaknya sejak manusia melakukan migrasi pada sekitar 120 ribu tahun lalu. Artinya, memang ada periode ketika peradaban tanpa negara terjadi. Ketika komunitas-komunitas manusia itu menjadi makin besar, barulah model negara muncul. Perlu disadari bahwa dengan kondisi komunitas manusia yang makin besar, keberadaan pemerintah dibutuhkan.
Karena menjadi pilar terciptanya tertib sosial. Pemerintah menjadi pihak yang mendapatkan legitimasi untuk menegakkan hukum yang bersifat memaksa masyarakat. Tanpa pemerintah, sangat mungkin chaos akan terjadi. Terkait hal ini, filsuf Tiongkok kuno, Lao Tzu atau Laozi dalam karyanya Tao Te Ching pernah menulis soal posisi king atau raja dalam kebesaran alam semesta.
Ia menyebutkan bahwa ada 4 kebesaran dalam alam semesta dan raja adalah salah satunya. Konteks raja di sini tentu saja berhubungan dengan negara atau pemerintah atau kekuasaan. Keberadaan raja menjadi salah satu variabel yang penting untuk melahirkan harmoni di alam semesta.
Dengan demikian, posisi pemerintah atau negara tetap penting dan tidak bisa disingkirkan. Di era seperti saat ini, hampir pasti sulit untuk melihat masyarakat hidup tanpa negara. Pasalnya, negara menjadi bagian dari struktur hidup manusia di muka bumi. Secara khusus, dalam konteks kapitalisme ekonomi, negara adalah jawaban untuk mengatasi efek samping dari liberalisme pasar, yakni ketimpangan sosial-ekonomi.
Dalam konteks tersebut, perpajakan kemudian menjadi salah satu poin penting posisi negara atau pemerintah sebagai solusi pemerataan kesejahteraan. Pemerintah atau negara menjadi pihak yang membantu alokasi kekayaan dari kelompok yang lebih beruntung dengan kekayaan yang mereka miliki agar bisa membantu kelompok yang kurang beruntung.
Bagi para “pemenang” dalam kapitalisme ekonomi mereka-mereka yang kaya dan berharta konteks alokasi kekayaan ini mungkin dianggap kurang adil. Dalam kaca mata mereka, semua orang bisa berhasil jika berjuang dengan sepenuh hati dan sungguh-sungguh. Namun, perlu digarisbawahi bahwasanya ketika sistem ekonomi dianggap sebagai sebuah kompetisi bebas demikian intisari dari kapitalisme maka sudah pasti akan ada pihak yang kalah.
Dan demi tetap menjaga harmoni dalam kaca mata Lao Tzu, posisi pemerintah bagi mereka yang kalah dalam kompetisi menjadi sangat penting. Memang harus diakui, sering kali pemerintah justru yang menjadi masalah dalam tata kelola negara itu sendiri. Elon Musk menyebut pemerintah “tidak punya kompetensi”. Sementara, yang lain menyebut pemerintah “tidak profesional”.
Karena seringnya penyelewengan-penyelewengan anggaran terjadi. Namun, bukan berarti pemerintah kemudian serta merta harus disingkirkan. Di era Ronald Reagan menjadi Presiden Amerika Serikat dan Margaret Thatcher menjadi Perdana Menteri Inggris, upaya penundukan negara oleh pasar memang terjadi. Namun, gelombang kebijakan mereka pula yang kemudian dianggap melahirkan ketimpangan ekonomi yang kini dirasakan oleh masyarakat di negara mereka masing-masing.
Yang jelas, negara atau pemerintah memang tetap dibutuhkan, namun perlu diperkuat dari sisi akuntabilitas dan pertanggungjawaban tata kelola anggarannya. Jika hal itu berhasil dilakukan, maka tak perlu tax amnesty berjilid-jilid sebab kesadaran membayar pajak sudah muncul dengan sendirinya. Tak perlu pula ada narasi masyarakat tanpa negara sebab semua orang memandang negara sebagai entitas penting yang harus ada demi memenuhi semua kebutuhan masyarakat.
Bukan begitu, Bang Elon?
Sekian blog kali ini mengenai Apakah kita memerlukan Negara untuk bertahan hidup ? (STATELESS SOCIETY) ELON MUSK , apabila terdapat kesalahan mohon maaf karena saya manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan, sekian Terimakasih telah mengunjungi blog saya .
[' ']
Komentar