Pemilik Chealsea Yang banyak Ditekan Akibat Dekat Dengan Putin Imbas Perang Rusia dan Ukraina Seberapa Kaya Roman Abrahamovic

Pada tahun 2012 lalu,

Chelsea FC memenangkan trofi paling prestisius di daratan Eropa,

yakni Champions League.


Roman Abrahamovic


Momen perayaan trofi pertama Chelsea di ajang ini mungkin

tak akan dilupakan oleh para fans Chelsea,

demikianpun jadi kado terindah bagi satu nama :

Roman Abramovich. 

Ya, pengusaha kaya asal Rusia yang jadi pemilik Chelsea ini

bisa dibilang menjadi salah satu sosok yang mewarnai sepak bola Eropa

dalam hampir 2 dekade terakhir sejak ia membeli Chelsea

di tahun 2003 lalu dan membawa klub yang identik dengan warna biru itu

menjadi salah satu klub besar di dunia.



Kini nama Abramovich jadi salah satu tokoh yang disoroti

terkait invasi yang dilakukan oleh Rusia ke Ukraina.

Statusnya sebagai oligark atau orang kaya yang dekat dengan Presiden Rusia

Vladimir Putin

memang membuatnya jadi sasaran pemerintah negara-negara Eropa.

Inggris misalnya telah menjatuhkan sanksi pembekuan terhadap semua aset Abramovich,

termasuk Chelsea.



Akibatnya, Chelsea tak boleh menjual tiket pertandingan,

kartu kredit klub dibekukan,

tak bisa perpanjang kontrak pemain, dan lain sebagainya.

Ini juga mendatangkan perdebatan lanjutan terkait status

para oligark Rusia yang nyatanya memang punya pertalian erat

dengan kekuasaan di negara tersebut.

Lalu, seperti apa kisah Roman Abramovich

dan para oligark Rusia itu?

Inilah Risalah Yang Kaya Setelah Soviet Jatuh!

Menyebut Abramovich sebagai taipan kaya raya memang bukan tanpa alasan.



Bloomberg mengestimasi total kekayaan bersih Abramovich

menyentuh angka US$ 13,5 miliar lebih atau sekitar Rp 193 triliun.

Ia juga punya saham di banyak perusahaan,

di antaranya perusahaan baja terbesar kedua di Rusia, Evraz.

Ia juga punya saham di Norilsk Nickel yang merupakan produsen refined nikel terbesar di dunia.

Dua perusahaan ini terdaftar di London Stock Exchange.

Aset-aset Abramovich juga tersebar,

mulai dari mansion di London,

penthouse di Chelsea,

lalu vila mewah di Prancis,

hingga superyacht atau kapal pesiar pribadi super mewah.



Yess, superyacht Abramovich yang dinamai Solaris

adalah salah satu superyacht terbesar di dunia

dan disebut bernilai hingga US$ 600 juta

atau sekitar Rp 8,5 triliun.

Kekayaan ini belum termasuk Chelsea FC

yang pada tahun 2021 lalu memiliki valuasi mencapai US$ 3,2 miliar

atau sekitar Rp 45,8 triliun.

Kejayaan Chelsea sebagai klub bola juga tidak lepas dari investasi berlimpah Abramovich.

Tercatat sejak tahun 2003,

ia telah menghabiskan 2 miliar Pound sterling untuk belanja pemain

kalau dirupiahkan itu sekitar Rp 37,4 triliun.

Ia juga gonta-ganti hingga 13 pelatih dan berhasil mempersembahkan 21 trofi untuk Chelsea.

Tidak heran para fans Chelsea sangat mencintai Abramovich.



Kemudian, sebagai seorang keturunan Yahudi,

Abramovich juga memiliki passport Israel

which is dengan kekayaannya membuat dia jadi orang terkaya kedua di Israel.

Ia juga memiliki passport Portugal dan karenanya membuatnya jadi orang terkaya di Portugal.

Hmm, emang sakti kekayaannya,

walaupun kalau dibandingkan dengan bangsanya Bill Gates

atau Elon Musk atau Jeff Bezos masih jauh sih.

Lalu, dari mana sebetulnya orang-orang seperti Abramovich

yang kerap diberi predikat sebagai Oligark Rusia ini bisa muncul?



Jika kita telusuri sejarahnya,

para oligark Rusia termasuk Roman Abramovich

adalah kelompok pengusaha yang mendapatkan keuntungan

pasca keruntuhan Uni Soviet di tahun 1991.

Jadi ceritanya ketika Soviet yang adalah sebuah negara komunis runtuh,

aset-aset yang sebelumnya dikuasai oleh negara

misalnya di bidang pertambangan,

industri dan lain sebagainya

kemudian dilelang dan diprivatisasi.

Ini memang tidak lepas dari pogram privatisasi ekonomi yang

terjadi di tahun-tahun tersebut,

utamanya setelah Mikhail Gorbachev mendorong reformasi

lewat program perestroika yang merestrukturisasi sistem politik

dan ekonomi Uni Soviet, dan kemudian Rusia.

Adapun kemunculan para oligark bisnis masif terjadi di era kekuasaan Presiden Boris Yeltsin.

Menariknya, privatisasi ini tidak selalu berjalan dengan fair.

Praktik korupsi dan manipulasi membuat banyak aset negara yang berpindah tangan secara murah,

bahkan ada yang gratis.

Asalkan punya koneksi ke Yeltsin atau ke pemerintah,

niscaya seseorang bisa menjadi oligark bisnis baru.



Di era Yeltsin beberapa nama oligark terkemuka antara lain Boris Berezovsky,

Mikhail Fridman, Vladimir Gusinsky, Mikhail Khodorkovsky,

Vladimir Potanin, Alexander Smolensky, dan beberapa nama lainnya.

Mereka membentuk apa yang disebut sebagai Semibankirschina

yang merupakan kelompok oligark yang memainkan peran penting di bidang politik

dan ekonomi antara tahun 1996-2000.

Nah, nama Abramovich sebagai oligark juga awalnya muncul dari era Yeltsin ini juga.

Sebagai anak yatim piatu

yang mana ayah dan ibunya meninggal ketika ia berusia 4 tahun

Abramovich memang sudah terjun ke dunia bisnis

dan perdagangan sejak muda.

Setelah privatisasi ekonomi terjadi,

pundi-pundi kekayaan Abramovich meningkat lewat bisnis minyak

dan peternakan babi.

Ia sempat dipenjara atas tuduhan mencuri

55 tanker bahan bakar diesel

yang menjadi asset pemerintah di tahun 1992.

Garis bisnis Abramovich kemudian makin moncer

setelah ia berkenalan dengan Boris Berezovsky

yang sebelumnya sudah kita singgung sebagai salah satu oligark bisnis di era Yeltsin.



Beberapa sumber menyebut Abramovich menjadi tangan kanan Berezovsky.

Di tahun 1996, keduanya mengakuisisi Sibneft

perusahaan minyak terbesar ke-3 di Rusia.

Sekitar 75,7 persen saham perusahaan ini

kemudian dijual ke Gazprom oleh Abramovich pada tahun 2005

senilai US$ 13,1 miliar.

Sibneft kini dikenal dengan nama Gazprom Neft.

Nah, balik lagi, kedekatan dengan Berezovsky,

pada akhirnya membuat Abramovich dekat dengan Yeltsin.

Bahkan keluarga Yeltsin memintanya pindah ke apartemen di wilayah Kremlin.

Pada tahun 1999,

Abramovich terpilih sebagai Gubernur Provinsi Chukotka,

dan memimpin selama 2 periode sampai tahun 2008.

Ada banyak versi kisah seputar realsi Abramovich dan Yeltsin

serta bagaimana hal itu berpengaruh pada kemunculan Vladimir Putin.



Richard Sakwa dalam bukunya The Crisis of Russian Democracy

menyebut Abramovich adalah orang pertama yang merekomendasikan Putin

kepada Yeltsin untuk menjadi presiden selanjutnya.

Ia juga menjadi orang yang mewawancarai kandidat

yang mengisi jabatan di kabinet Putin

ketika ia menjadi Perdana Menteri di tahun 1999.

Abramovich memang dianggap sebagai salah satu orang dekat Putin.

Di tahun 2007 misalnya,

Abramovich disebut menjadi orang yang merekomendasikan Dmitry Medvedev

untuk menjadi pengganti Putin.

Seperti dikutip dari Mirror,

Abramovich juga memiliki sebutan khusus di Kremlin,

yakni “Mr A”.

Relasinya dengan Putin bahkan disebut seperti anak dan ayah.

Well, apapun itu, yang jelas konteks relasi Abramovich dengan Putin ini

menjadi salah satu alasan mengapa ia kemudian menjadi target sanksi

dari beberapa pemerintah negara-negara di Eropa.

Ini juga jadi pembenaran kekuasaan oligarki bisnis dan politik di Rusia.


Di era Putin, Abramovich menjadi salah satu dari nama-nama oligark paling berpengaruh,

di samping Alexander Abramov, Oleg Deripaska,

Mikhail Prokhorov, Alisher Usmanov, Vladimir Potanin, dan lain sebagainya.

Mereka menjadi orang-orang yang punya relasi saling menguntungkan

dengan kekuasaan Putin.

Kisah Abramovich mungkin juga bisa jadi refleksi untuk kita di Indonesia.

Bahwasanya setiap perubahan

entah itu keruntuhan Soviet maupun katakanlah Reformasi 1998 di Indonesia

dua-duanya sama-sama melahirkan oligarki bisnis dan politik.

Ini jadi pembuktian bahwa kita memang hidup di era hyperreality

meminjam istilah Jean Baudrillard.

Sebab, seperti yang Baudrillard tulis dalam bukunya

Simulacra and Simulation:

“One has never said better how much ‘humanism’, ‘normality’,

‘quality of life’ were nothing but the vicissitudes of profitability.”


Iklan ada di sini

Komentar