Apa Jadinya jika Arab Saudi Adalah negara Komunis ?

  Tahun 1950-an jadi penanda munculnya narasi politik baru di Arab Saudi.

Ini tentang sebuah gerakan buruh yang cukup besar

yang muncul di Eastern Province atau Provinsi Sharqiyah, Arab Saudi.

Gerakan buruh ini bahkan sempat menutup produksi minyak di lokasi milik ARAMCO





perusahaan minyak yang telah berdiri sejak tahun 1933

sebagai hasil konsesi antara pemerintah Arab Saudi

dengan Standard Oil dari Amerika Serikat.

Aksi-aksi tersebut kemudian menandai berdirinya National Liberation Front

atau NLF

sebuah kuasi- partai komunis Arab Saudi.



Namun, kisah gerakan buruh ini sebetulnya menjadi gambaran lebih dalam

dari intrik di internal keluarga kerajaan pasca meninggalnya pendiri Arab Saudi,

King Abdulaziz.

Ini tentang persaingan perebutan pengaruh antara para pangeran

yang dibumbui oleh keberpihakan kelompok kiri komunis:

King Saud versus saudaranya, Pangeran Faisal.

Di tahun-tahun berikutnya keberadaan kelompok komunis membuncah menjadi sebuah partai politik:

Partai Komunis Arab Saudi.

Inilah kisah jika Arab Saudi jadi merah!





Well, tak ada yang pernah membayangkan kita akan berbicara soal komunisme

di Arab Saudi.

Yess, komunisme di Arab Saudi.

Tapi fakta sejarahnya memang menunjukkan bahwa paham yang berakar

dari pemikiran Karl Marx ini pernah berkembang di jantung agama Islam dunia itu.

Toby Matthiesen dalam penelitiannya yang dimuat di Journal of Cold War Studies,

menjelaskan bagaimana komunisme berkembang dan menjadi bagian dari intrik

relasi antar pengeran,

serta bumbu dalam Arab Cold War yang melibatkan Amerika Serikat dan Uni Soviet.



Seperti sudah disinggung sebelumnya, pasca meninggalnya King Abdulaziz,

kekuasaan diambil alih oleh King Saud sebagai penerusnya.

Namun, saudaranya, Pangeran Faisal yang menjadi putra mahkota,

punya pengaruh yang makin hari makin besar.

King Saud sendiri dikenal cukup dekat dengan kelompok-kelompok progresif

dan pangeran-pangeran yang berorientasi nasionalis,

misalnya kelompok Free Princes yang ada di sekitar

Pangeran Talal bin Abdulaziz Al Saud

anak ke-20 dari King Abdulaziz.

Pangeran Talal dikenal sebagai sosok liberal

yang memperjuangkan konstitusi nasional,

supremasi hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.



Ia dijuluki sebagai The Red Prince.

Nah, salah satu tokoh yang dekat dengan Pangeran Talal adalah Mahdi Habib

orang yang di kemudian hari menjadi Sekretaris Jenderal

Communist Party in Saudi Arabia.

Mahdi Habib yang bernama asli Mustafa Hafiz Wahba

adalah tokoh di pemerintah Arab Saudi yang berubah menjadi komunis.

Lahir di Kuwait, ia merupakan anak dari Hafiz Wahba

yang merupakan salah satu orang kepercayaan King Abdulaziz.

Hafiz Wahba pernah menjadi Duta Besar pertama Arab Saudi di Inggris.

Mahdi Habib berkuliah di Cambridge University

dan kemudian diajak untuk bekerja bersama Pangeran Talal.

Namun, pada tahun 1962, pengaruh Pangeran Faisal menjadi sangat kuat,

sehingga Mahdi dan orang-orang yang ada dalam kelompok progresif

“ditertibkan” oleh sang pangeran.

Faisal sendiri resmi menjadi King Faisal pada tahun 1964

setelah menyingkirkan saudaranya yang dianggap gagal memimpin negara.



Mahdi kemudian diusir atas perintah King Faisal dan ia lalu menetap di Kuwait.

Di masa-masa tersebut, dunia Arab terbelah menjadi dua dalam tajuk Arab Cold War.

Monarki-monarki konservatif yang dipimpin oleh Arab Saudi

didukung sepenuhnya oleh Amerika Serikat.

Sementara rezim-rezim militer revolusioner didukung oleh Uni Soviet.

Yaman Selatan yang kemudian dikenal sebagai

People’s Democratic Republic of Yemen menjadi basis kelompok kiri revolusioner.

Perang pun terjadi di wilayah-wilayah tersebut.

King Faisal sendiri memang mulai khawatir dan melihat komunisme

sebagai konspirasi global yang menurutnya beraliansi dengan kelompok Zionis.

Perubahan kemudian terjadi ketika King Faisal dibunuh pada tahun 1975.

Saudaranya, Pangeran Khalid, kemudian naik takhta.

Berbeda dengan pendahulunya yang keras pada kaum progresif,

King Khalid membebaskan orang-orang yang ditahan oleh King Faisal.



Mereka yang mengasingkan diri di luar negeri juga diizinkan untuk kembali.

Tahun tersebut juga menjadi pendorong revitalisasi gerakan komunis di kawasan.

Partai Komunis Mesir mengumumkan rekonstitusi.

Di Kuwait sebuah kelompok komunis juga berdiri.

Hal serupa juga terjadi di Arab Saudi.

National Liberation Front mempersiapkan kongres yang melahirkan

Communist Party in Saudi Arabia atau CPSA.

Partai ini juga punya Central Committee

mirip seperti milik PKI di Indonesia

dan juga Politburo.

Mahdi habib ditunjuk sebagai Sekjen.

Matthiesen mencatat bahwa anggota Partai Komunis Saudi Arabia

disebut cukup radikal.

Sekalipun gerakan partai ini tak besar, anggota partai tersebut cukup beragam.

Mulai dari birokrat, jurnalis dan pebisnis.



CPSA juga menjadi simbol dari proyek politik non-Islam

yang mencoba menjadi rival rezim kekuasaan keluarga Saudi.

Di tahun-tahun selanjutnya,

partai politik kemudian dilarang di Arab Saudi

yang kemudian membuat aktivitas CPSA menjadi ilegal.

Para anggota partai juga bisa dihukum penjara dalam jangka waktu yang lama.

Untuk beberapa waktu, CPSA menjalin relasi dengan kekuatan blok komunis global.

Mereka juga punya cabang gerakan anak muda, pelajar dan perempuan.

Popularitas CPSA kemudian menurun seiring kehancuran Uni Soviet.

Partai ini kemudian berakhir di dekade 1990-an.

Nah, kini kita sampai ke perandai-andaiannya.

Apa ya yang terjadi jika CPSA bisa menjadi besar

dan kemudian pada akhirnya mengubah Arab Saudi menjadi sebuah negara komunis?

Well, kemungkinan untuk sampai di titik tersebut memang cukup kecil.

Ini karena kekuasaan keluarga Al-Saud sangat kuat

baik secara politik maupun di bidang-bidang lainnya.



King Khalid memang memberikan titik cerah pada kelompok-kelompok progresif,

tapi bukan berarti membebaskan gerakan kiri untuk tumbuh.

Selain itu, perubahan menjadi negara komunis

sangat mungkin akan memicu perang besar di Arab,

mengingat Arab Saudi misalnya, sangat dekat dengan Amerika Serikat.

Dengan demikian, level pertarungannya akan ada juga di level internasional.

Keruntuhan legitimasi keluarga Al-Saud

juga bisa saja menjadi pemicu perpecahan di wilayah kerajaan tersebut.

Jadi, yang pasti terjadi adalah baku hantam.

Tapi, gimana kalau keluarga kerajaan sendiri

kemudian memilih berpihak pada komunis?

Well, ini akan jadi perandaian yang menarik.

Apalagi dalam benak banyak orang,

kalau bicara tentang komunisme pasti arahnya adalah benturan dengan agama.

Sebagai jantung dari agama Islam dan menjadi tempat umat Muslim

dari seluruh dunia menjalankan rukun Islam ke-5, yakni Naik Haji,

bisa dipastikan perubahan tersebut akan melahirkan benturan yang signifikan.

Well, Mekkah dan Madinah adalah bagian dari Arab Saudi.



Jadi kalau ada perubahan di level politik dan ideologis,

mungkin level pertarungannya bisa kali ya kayak zaman Perang Salib

yang sempat memperebutkan Yerusalem.

Bahkan kali ini bisa lebih dahsyat kekacauannya.

Konteksnya mungkin akan berbeda jika Mekkah dan Madinah

kemudian jatuh ke tangan negara Muslim lain.

Apapun itu, perandai-andaiannya memang cukup ekstrem.

Yang jelas sejarah memang menjadi saksi bahwa di Arab Saudi

pernah berdiri kekuatan komunisme.

Pergerakannya menjadi warna tersendiri dari perjalanan negara tersebut.


Keberadaan komunisme juga menjadi warna cerita intrik

yang terjadi dalam keluarga kerajaan Saudi.

Ini adalah lembaran yang akan menjadi kisah di generasi-generasi selanjutnya.

Sebab, seperti kata William Shakespeare: “There is a history in all men’s lives”.



Sekian blog kali ini mengenai Apa Jadinya jika Arab Saudi Adalah negara Komunis ? , apabila terdapat kesalahan mohon maaf karena saya manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan,  sekian Terimakasih telah mengunjungi blog saya .

[' '] 


Iklan ada di sini

Komentar