Indomie, Kunci Indonesia Taklukkan Dunia

 Indomie. 






Semua orang Indonesia mungkin tahu

bagaimana nikmatnya produk mie instan asli Tanah Air yang satu ini.

Di mana pun kita berada atau siapa pun kita,

Indomie sering kali menjadi pilihan untuk mengisi perut kita 

ketika sedang ingin makan makanan yang praktis atau sedang ingin berhemat.

Para anak kosan pasti tahu lah ya.

Well, nyatanya kenikmatan Indomie yang legendaris

tidak hanya dinikmati orang Indonesia saja

tapi juga disukai oleh orang dari berbagai negara.

Indomie beberapa waktu yang lalu

dinobatkan sebagai produk mie instan paling enak di dunia.

Berdasarkan penilaian Los Angeles Times,

sebuah media massa di Amerika Serikat,

Indomie rasa ayam barbecue menempati peringkat pertama

di daftar L.A. Times Instant Ramen Power Rankings 2019,

sementara Indomie rasa original menempati peringkat 10.

Tidak hanya itu, Indomie juga masuk ke deretan merek paling populer di dunia.

Menurut survei dari lembaga riset Kantar yang berjudul Global Brand Footprint 2021.






Indomie menempati posisi ketujuh,

dengan nilai Poin Jangkauan Konsumen sebesar 2,2 miliar,

tepat di bawah produk minuman asal Amerika Serikat, Pepsi.

Saking populernya nih, di negara Nigeria

bahkan muncul slogan Indomie sebagai makanan sejuta umat.

Indomie pun kabarnya sering digunakan sebagai kata pengganti

untuk makanan jenis mie instan itu sendiri loh.

Dengan persebaran pabrik di beberapa dan kepopuleran Indomie di mata dunia,

banyak orang kemudian menilai Indomie telah berkontribusi

dalam meningkatkan brand nation atau merek negara itu sendiri

karena pada akhirnya, masyarakat dunia tahu bahwa mie instan

ini adalah buatan Indonesia.

Melihat potensi Indomie yang luar biasa, muncul sebuah pertanyaan:

mungkinkah Indomie menjadi alat politik luar negeri Indonesia?

Jika dilihat sejarahnya, sebenarnya Indomie bukanlah

produk mie instan pertama di Indonesia.

Sebelumnya sudah ada produk Supermi yang duluan beredar

di pasaran Indonesia sejak tahun 1968.

Sedangkan Indomie baru muncul di tahun 1970.

Seperti dikutip dari Historia,

Indomie diproduksi oleh PT Sanmaru Food Manufacturing

dari Grup Jangkar Jati milik Djajadi Djaja dan kawan-kawan.

Kemudian, pada tahun 1982 muncul pesaing baru yaitu Sarimi,

yang didirikan oleh Salim Group, milik pengusaha Liem Sioe Liong.


 Liem Sioe Liong



Singkat cerita, setelah berbagai dinamika yang terjadi

Salim Group di kemudian hari berhasil menjadi penguasa

dan mengambil alih brand Supermi dan Indomie.


Bagaimana caranya? Richard Borsuk dan Nancy Chng

dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group: Pilar Bisnis Soeharto,

mengatakan hal tersebut akibat kecerdikan strategi bisnis Liem.

Disebutkan bahwa untuk produksinya,

Indomie milik Djajadi mengandalkan tepung terigu dari

perusahaan Bogasari yang dimiliki oleh Salim Group.

Karena ini, Liem berusaha mendekati langsung Djajadi selaku pimpinan Indomie.

Awalnya, Djajadi menolak tawaran Salim untuk bergabung,

tetapi kemudian Liem berani menjual Sarimi 

denga lebih murah dari Indomie.

Alhasil, Sarimi menguasai 40 persen pasar mie instan di Indonesia.

Melihat kekuatan Salim Group,

Djajadi melunak dengan tawaran kedua dari Liem,

dan keduanya pada 1984 sepakat untuk membentuk

perusahaan patungan bernama PT Indofood Interna Corporation.

Richard dan Nancy mengatakan,

karena perkawinan antara dua merek ini begitu kuat,

Supermi sebagai pelopor mie instan Indonesia

akhirnya ikut bergabung pada tahun 1986.

Menurut Anthony Salim, saham perusahaan patungan ini

pada akhirnya menjadi milik Salim Group

karena Djajadi dan rekan-rekannya sibuk berkonflik,

sehingga Salim dapat mencari untung.

Lalu, bagaimana kemudian Indomie bisa mendunia?



Well, Indomie pertama kali diekspor pada tahun 1992,

dibarengi dengan pendirian Direktorat Ekspor

dengan tugas fokus mengembangkan ekspor Indomie ke berbagai negara.

Tim ini aktif mempelajari semua izin impor di setiap negara.

Fransiscus Welirang, Direktur PT Indofood Sukses Makmur

mengatakan negara-negara yang dipilih jadi sasaran ekspor utama

adalah negara dengan jumlah TKI terbanyak,

seperti Hong Kong, Taiwan, dan Arab Saudi.

Selain TKI, Indomie juga dibawa oleh para pelajar Indonesia

di luar negeri,

sehingga Indomie juga populer di negara-negara

seperti Amerika Serikat dan Australia.

Well, bisa dikatakan para WNI yang berada di luar negeri ini

secara tidak langsung berperan menjadi agen Indomie

karena aroma nikmat mie yang mereka masak di rumah ataupun di apartemen

mampu menusuk hidung para warga asli di negaranya.

Tidak sedikit cerita tentang warga asing yang kenal Indomie melalui teman Indonesianya.

Lalu, strategi selanjutnya yang dilakukan Indomie

untuk menanam popularitasnya di luar negeri

adalah dengan taktik marketing dan distribusi yang agresif.

Wientor Rah Mada dalam artikelnya

Strategi Sukses Pengembangan Pasar Internasional Indomie

Menguasai Niche Mie Instant Dunia,

mengatakan bahwa kunci kesuksesan Indomie di luar negeri

adalah karena mereka tidak ragu-ragu dalam membangun

pabrik dan gudang penyimpanan di luar negeri.



Sampai saat ini, Indomie memiliki pabrik di 11 negara,

termasuk Maroko, Nigeria, dan Serbia.

Selain sangat membantu dalam aspek produksi dan pemasaran merek,

Wientor menilai bahwa keberadaan pabrik Indomie

juga sangat menguntungkan masyarakat di negara-negara tersebut.

Tenaga kerja mereka bisa terserap dan sumber daya alamnya

dapat dimanfaatkan, karena tidak semua bahan-bahan

untuk membuat mie diambil dari Indonesia.

Dan ternyata, dalam membangun jejaring pemasaran

di luar negeri, Indomie tidak bertindak sendiri.

Pemerintah Indonesia disebut memiliki andil yang cukup besar

dalam ekspansi global Indomie.

Presiden Jokowi dikenal sebagai presiden yang sangat

mengedepankan branding produk Indonesia di luar negeri.

Ia bahkan sempat mengatakan para duta besar di bawah

kepemimpinannya juga harus mampu menjadi pemasar produk

usaha Indonesia, dengan fokus 80 persen

ke diplomasi bidang perdagangan.

Tidak heran sih, saat membangun pabrik Indomie

di Maroko pada tahun 2015, Dubes RI Rabat Syarief Syamsuri,





bahkan secara khusus mengunjungi kantor penjualan dan

pemasaran Indomie Indo Morocco Company SA

yang dipimpin Dirut Mufli Zaumar dan Direktur Keuangan

dan Administrasi Ahmad Sidikki.

Mereka secara langsung ingin memahami permasalahan

yang dihadapi serta mengetahui rencana investasi Indofood

membangun pabriknya di Maroko.

Dan hasilnya saat ini pabrik Indomie di Maroko

menjadi pabrik Indomie terbesar di dunia,

di luar Indonesia tentunya.

Wih.

Aktivitas ekonomi Indomie di Benua Afrika

kemudian dipermudah melalui sejumlah kerja sama ekonomi

seperti Preferential Trade Agreement yang dilakukan

dengan kelompok ekonomi di Afrika terkait peminimalisiran tarif perdagangan.

Pemerintah Indonesia juga melibatkan perusahaan nasional

untuk berinvestasi pada bidang pangan

dan agroindustri di Afrika.

Indomie adalah salah satunya yang disebut berhasil menguasai

pasar sebesar 74 persen di Afrika Barat.

Well, apa yang dilakukan pemerintah melalui Indomie

sebetulnya ada istilahnya sendiri dalam studi hubungan internasional,

yaitu gastrodiplomacy.

Paul Rockower dalam tulisannya The State of Gastrodiplomacy,

menjelaskan bahwa Gastrodiplomacy merupakan upaya

diplomasi publik untuk mengkomunikasikan budaya kuliner

kepada negara lain dengan cara yang lebih merakyat,

yaitu lewat makanan.

Rockower juga menilai diplomasi jenis ini lebih efektif dari

diplomasi konvensional yang dilakukan oleh para elite diplomat

karena makanan mampu menyentuh audiens yang lebih luas.

Melihat apa yang berhasil dicapai Indomie di luar negeri,

mereka juga sebetulnya telah menjadi bentuk kekuatan Indonesia.

Dengan akses ke pasar dunia,

Indomie telah membantu perekonomian Indonesia.

Kekuatan seperti ini adalah apa yang disebut oleh

ilmuwan politik AS, Joseph S. Nye sebagai soft power.

Dalam bukunya Soft Power:

The Means To Success In World Politics,



Nye mengatakan bahwa kekuatan lunak negara seperti budaya,

pencitraan politik, dan ekonomi mampu memperkuat posisi

suatu negara dalam panggung internasional.

Terlebih lagi jika soft power tersebut mampu mengakar

secara sosial, dan juga mengakar secara ekonomi.

Ini seperti yang terjadi di Nigeria di mana sebagian masyarakat

mereka benar-benar hidup karena Indomie,

dari segi sosial, maupun ekonomi.

Dengan demikian, bukan tidak mungkin jika Indomie semakin berkembang,

pengaruh politik luar negeri Indonesia

pun juga bisa ikut diuntungkan.

Apalagi di era globalisasi seperti saat ini,

hard power negara seperti militer dan persenjataan

tidak lagi menjadi faktor tunggal dalam menciptakan

suatu kekuatan politik.

Perekonomian dan urusan perut kini telah menjadi variabel

yang sangat penting dalam hubungan internasional.

Sebab, seperti yang dikatakan pendiri Nissin Food.




Iklan ada di sini

Komentar