Ramai Penundaan Pemilu, dan Pecah Koalisi Jokowi
Narasi penundaan Pemilu 2024 kini jadi isu yang makin sering dibicarakan.
Bagaimana tidak, jika benar-benar terwujud,
maka otomatis jabatan Presiden Jokowi akan diperpanjang.
Sejauh ini, Golkar, PAN dan PKB
adalah beberapa partai yang mendukung wacana tersebut.
Sedangkan partai yang menolak antara lain
PDIP, Nasdem, Demokrat, PKS dan PPP
Nah, menariknya,
penundaan Pemilu kini juga dimotori oleh salah satu sosok di pemerintahan,
yakni Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Dalam perbincangannya di podcast Bersama Deddy Corbuzier,
Pak Luhut mengklaim bahwa dari hasil big data yang diperolehnya,
mayoritas masyarakat ingin Pemilu ditunda.
Pak Luhut sendiri masih menolak untuk membuka
data-data yang di klaimnya tersebut
Hingga kini, Presiden Jokowi belum juga memberikan pernyataan yang tegas
terkait narasi penundaan Pemilu,
sekalipun di tahun 2021 lalu,
ia pernah tegas menolak narasi jabatan 3 periode.
Nah, jika kita buka-buka kembali buku sejarah,
penundaan Pemilu nyatanya pernah terjadi juga di masa lalu.
Salah satunya di era kekuasaan Soekarno, tepatnya di tahun 1959.
Kala itu, partai-partai sepakat menunda Pemilu demi membendung pengaruh politik PKI
yang tengah naik daun.
Lalu, seperti apa kisahnya dan mengapa narasi penundaan Pemilu adalah hal yang buruk?
Inilah Jalan Panjang Membendung Kuasa!
Penundaan Pemilu memang butuh alasan yang kuat
agar keputusan tersebut bisa disetujui.
Di era Soekarno, masalah keamanan menjadi faktor penentu utamanya.
Setelah Pemilu pertama terjadi di bulan September 1955,
Pemilu berikutnya seharusnya dilaksanakan pada September tahun 1959.
Namun, di tahun 1958
pemerintah mengumumkan bahwa Pemilu akan ditunda ke tahun 1960 karena alasan keamanan.
Alasan keamanan yang dimaksud antara lain terkait persoalan Irian Barat,
kemudian ada narasi Konfrontasi Malaysia
yang digembar-gemborkan Soekarno,
hingga ke pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di daerah,
utamanya yang dilakukan oleh PRRI dan Permesta.
Selain itu, situasi politik kekuasaan saat itu juga tengah panas-panasnya.
Ini terkait pembahasan konstitusi yang tak kunjung selesai,
hingga tarik menarik kepentingan politik di antara parpol-parpol.
Di kemudian hari, rangkaian kebijakan politik itu diikuti dengan Dekrit Presiden di tahun 1959,
di mana Soekarno menerapkan garis Demokrasi Terpimpin.
Seperti dikutip dari Historia, sebagai kelanjutan penundaan Pemilu,
Soekarno menerbitkan Penetapan Presiden Nomor 3 tahun 1960
yang menjadi dasar pembubaran DPR hasil Pemilu 1955.
Untuk mengisi kekosongan kekuasaan,
Soekarno menerbitkan lagi Penetapan Presiden Nomor 4 tahun 1960
untuk membentuk DPR Sementara yang dinamai DPR Gotong Royong.
Anggotanya berjumlah 283 orang yang merupakan wakil-wakil dari partai politik,
serta 1 orang wakil dari Irian Barat.
Awalnya Pemilu direncanakan akan dilakukan pada tahun 1960.
Namun, menurut Mahfud MD dalam bukunya Politik Hukum di Indonesia,
Pemilu kemudian ditunda lagi ke tahun 1962.
Tapi di tahun itu, Pemilu pun ditunda lagi.
Pemerintah beralasan bahwa sebelum Irian Barat kembali ke pangkuan Indonesia,
Pemilu tidak akan dilaksanakan.
Dengan kompleksitas isu yang kemudian berujung pada tragedi 1965,
akhirnya Pemilu baru terjadi lagi di tahun 1971 setelah Soekarno lengser.
Secara personal, wajar melihat mengapa Soekarno mengambil kebijakan-kebijakan semacam itu.
Refleksi keluarga Soekarno yang punya garis keturunan bangsawan
jelas mempengaruhi cara pandangnya terkait kekuasaan.
Buat yang belum tahu, dalam biografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat tulisan Cindy Adams,
Soekarno menyebut ayahnya yang bernama
Raden Soekemi Sosrodihardjo sebagai keturunan dari Sultan Kediri.
Sementara ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai,
merupakan keturunan bangsawan Bali. '
Raja Singaraja yang terakhir disebut sebagai paman dari Ida Ayu.
Lalu, mengapa parpol-parpol saat itu setuju dengan narasi penundaan Pemilu di tahun 1959?
Well, jika mengutip buku Ijtihad Politik Ulama tulisan Greg Fealy,
tujuan parpol-parpol saat itu setuju Pemilu ditunda sifatnya cenderung lebih politis,
yakni untuk mencegah PKI berkuasa.
Periode akhir tahun 1950-an memang ditandai dengan makin kuatnya posisi politik PKI
seiring bertambahnya anggota partai yang dipimpin oleh DN Aidit tersebut.
Pasalnya, di Pemilu 1955,
PKI memang ada di urutan ke-4 di belakang PNI, Masyumi dan Partai NU.
Namun, ketika Pemilu Daerah terjadi di tahun 1957-1958,
PKI telah unggul atas ketiga partai tersebut.
Bahkan, PKI telah unggul di basis-basis massa NU, misalnya di Jawa Tengah.
Sedangkan di basis massa NU lain, terutama di Jawa Timur,
suara PKI juga naik signifikan dari hanya menang di 2 kabupaten pada Pemilu 1955,
menjadi menang di 8 kabupaten di Pemilihan Daerah 1957.
Tidak heran, banyak pihak yang memprediksi jika Pemilu tetap dilakukan di tahun 1959,
PKI akan muncul sebagai partai pemenang.
Dengan adanya benturan-benturan ideologis yang terjadi saat itu,
parpol-parpol yang ada seolah sepakat untuk mencegah hal itu terjadi.
Saskia Wieringa dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan
menyebutkan bahwa ada front anti-PKI yang dibangun oleh para
pemimpin agama, militer dan sejumlah pemimpin partai utamanya dari PNI.
Front ini ingin mencegah PKI merebut pemerintahan di tahun-tahun tersebut.
And the rest is history.
PKI makin besar dan akhirnya berujung pada tragedi 1965
yang menimpa para petinggi militer.
Partai tersebut akhirnya dibubarkan,
pendukung dan simpatisannya banyak yang ditangkap dan mengalami pembantaian massal,
Soekarno akhirnya lengser, Soeharto naik takhta,
dan Pemilu baru terjadi lagi di tahun 1971.
Pada akhirnya,
yang bisa kita pelajari dari catatan sejarah tersebut
adalah kebijakan penundaan Pemilu adalah hal yang kompleks,
sekaligus juga bisa berbahaya.
Bagi pihak yang berkuasa, persepsi negatif akan sangat mungkin terjadi di masyarakat.
Pemimpin akan dinilai gila kekuasaan dan tidak menghormati nilai-nilai demokrasi
yang sudah digariskan sejak lama.
Terkait hal ini, dalam ilmu psikologi,
ada terminology yang disebut paradox of power atau paradoks kekuasaan.
Mengutip Profesor Dacher Keltner dari University of California Berkeley,
paradox of power adalah kecenderungan bahwa pemimpin yang muncul awalnya terlihat sopan,
jujur, menjunjung nilai-nilai yang dianggap penting oleh masyarakat,
dan mengupayakan kekuasaan secara fair.
Namun, setelah mendapatkan kekuasaan dan kesuksesan,
nilai-nilai penting tersebut seolah hilang,
digantikan oleh sikap yang cenderung impulsif,
didominasi oleh tindakan-tindakan yang self-serving,
dan mengalami defisit empati.
Dalam konteks penundaan Pemilu,
sangat mungkin masyarakat akan menilai ini sebagai pembenaran paradox of power tersebut
yang dialami oleh Presiden Jokowi.
Jika Jokowi ingin punya warisan politik yang positif untuk dilihat puluhan hingga ratusan tahun ke depan,
maka sudah selayaknya sang presiden menunjukkan sikap tegas menolak narasi tersebut.
Selain itu, isu penundaan Pemilu juga sarat akan kepentingan yang dipertaruhkan di belakangnya.
Apakah berhubungan dengan ibu kota baru dan investor yang merasa terjamin kalau Pak Jokowi lanjut berkuasa?
Atau negara memang sedang sulit keuangan,
sehingga seperti yang dibilang Pak Luhut:
“Ngapain menghabiskan Rp 100 triliun lebih di kondisi pandemi seperti ini?”
Well, hanya mereka-mereka yang tahu.
Bagi kita, keberlangsungan proses demokrasi lewat Pemilu dan Pilkada
harus tetap dijaga dan tidak boleh diganggu-ganggu.
Sebab, seperti kata Abraham Lincoln:
“Elections belong to the people”
Komentar